Jumat, 13 Juni 2008

ELEKTROENSEFALOGRAMk

ELEKTROENSEFALOGRAM
Dipublish oleh: Sunardi (Residensi Sp.KMB)
A. Deskripsi :1. Ilustrasi
2. Pengertian
Electroencephalogram ( EEG) adalah suatu test untuk mendeteksi kelainan aktivitas elektrik otak (Campellone, 2006). Sedangkan menurut dr. Darmo Sugondo membedakan antara Electroencephalogram dan Electroencephalografi. Electroencephalografi adalah prosedur pencatatan aktifitas listrik otak dengan alat pencatatan yang peka sedangkan grafik yang dihasilkannya disebut Electroencephalogram. Jadi Aktivitas otak berupa gelombang listrik, yang dapat direkam melalui kulit kepala disebut Elektro-Ensefalografi (EEG). Amplitudo dan frekuensi EEG bervariasi, tergantung pada tempat perekaman dan aktivitas otak saat perekaman. Saat subyek santai, mata tertutup, gambaran EEG nya menunjukkan aktivitas sedang dengan gelombang sinkron 8-14 siklus/detik, disebut gelombang alfa. Gelombang alfa dapat direkam dengan baik pada area visual di daerah oksipital. Gelombang alfa yang sinkron dan teratur akan hilang, kalau subyek membuka matanya yang tertutup. Gelombang yang terjadi adalah gelombang beta (> 14 siklus/detik). Gelombang beta direkam dengan baik di regio frontal, merupakan tanda bahwa orang terjaga, waspada dan terjadi aktivitas mental. Meski gelombang EEG berasal dari kortek, modulasinya dipengaruhi oleh formasio retikularis di subkortek.Formasio retikularis terletak di substansi abu otak dari daerah medulla sampai midbrain dan talamus. Neuron formasio retikularis menunjukkan hubungan yang menyebar. Perangsangan formasio retikularis midbrain membangkitkan gelombang beta, individu seperti dalam keadaan bangun dan terjaga. Lesi pada formasio retikularis midbrain mengakibatkan orang dalam stadium koma, dengan gambaran EEG gelombang delta. Jadi formasio retikularis midbrain merangsang ARAS (Ascending Reticular Activating System), suatu proyeksi serabut difus yang menuju bagian area di forebrain. Nuklei reticular thalamus juga masuk dalam ARAS, yang juga mengirimkan serabut difus kesemua area di kortek serebri.ARAS mempunyai proyeksi non spesifik dengan depolarisasi global di kortek, sebagai kebalikan dari proyeksi sensasi spesifik dari thalamus yang mempunyai efek eksitasi kortek secara khusus untuk tempat tertentu. Eksitasi ARAS umum memfasilitasi respon kortikal spesifik ke sinyal sensori spesifik dari thalamus. Dalam keadaan normal, sewaktu perjalanan ke kortek, sinyal sensorik dari serabut sensori aferen menstimulasi ARAS melalui cabang-cabang kolateral akson. Jika sistem aferen terangsang seluruhnya (suara keras, mandi air dingin), proyeksi ARAS memicu aktivasi kortikal umum dan terjaga.
3. EEG dilakukan untuk (Jan Nissl, 2006)
 Mendiagnosa dan mengklasifikasikan Epilepsi
 Mendiagnosa dan lokalisasi tumor otak, Infeksi otak, perdarahan otak, parkinson
 Mendiagnosa Lesi desak ruang lain
 Mendiagnosa Cedera kepala
 Periode keadaan pingsan atau dementia.
 Narcolepsy.
 Memonitor aktivitas otak saat seseorang sedang menerima anesthesia umum selama perawatan.
 Mengetahui kelainan metabolik dan elektrolitB. Fisiologi/PatofisiologiAktivitas listrik merupakan salah satu karakteristik dari semua sel hidup, termasuk sel-sel saraf.
Walaupun demikian, tidak keseluruhan sel saraf yang berjumlah 2,6 x 109 itu dianggap menyebabkan gelombang-gelombang listrik di permukaan sebagaimana terekam dengan EEG. Jadi yang dapat mengakibatkan gelombang-gelombang EEG adalah sel-sel saraf di korteks, walaupun diketahui juga bahwa struktur-struktur subkortikal, seperti talamus dan formatio retikularis mempunyai pengaruh yang kuat terhadap gelombang-gelombang kortikal itu. Dari ketiga jenis bentuk sel-sel kortikal (spindle, stellatum dan piramidal), sel-sel piramidallah yang dianggap merupakan sumber potensial listrik dari gelombang-gelombang permukaan. Dari berbagai penyelidikan disimpulkan bahwa terdapat bukti kuat yang menyarankan bahwa gelombang-gelombang permukaan itu merupakan penjumlahan (summation) daripada potensial listrik pascasinaptik, baik yang bersifat inhibisi atau eksitasi, yang berasal dari soma dan dendrit-dendrit besar sel piramidal.Potensial listrik pascasinaptik itu timbul akibat aktifitas neurotransmiter yang dilepaskan oleh ujung presinaptik, yang melepaskannya setelah menerima tanda-tanda listrik dari hubungan-hubungannya.
Acetilkholin dianggap sebagai transmiter eksitasi yang penting, dan GABA sebagai transmiter inhibisi yang terpenting di otak.Ujung-ujung presinaptik menerima lepas muatan listrik dari sel-sel di thalamus. Menurut penyelidikan bahwa inti-inti nonspesifik di talamus merupakan the probable pacemaker dari pada potensial listrik sel-sel pyramidal. Lepas muatan yang timbul pada soma dan dendrit-dendrit besar itu kemudian melalui cairan dan jaringan tubuh sampai pada elektroda-elektroda EEG.
dengan demikian jelaslah bahwa rekaman yang dihasilkan oleh electrode kulit kepala merupakan contoh dari pada aktivitas dekat permukaan, yang tentunya telah banyak mengalami pelemahan, penyebaran, dan penyimpangan dalam perjalanannya yang melalui cairan jaringan, jaringan otak, cairan serebrospinal, tulang tengkorak dan kulit kepala itu.
Gambaran EEG NormalGb. EEG dari atas kebawah : alfa, beta, teta, delta (sumber : Louis, 2006)Salah satu penemuan Hans Berger adalah bahwa kebanyakan EEG orang dewasa normal mempunyai irama dominant dengan frekuensi 10 siklus per detik, yang di sebutnya sebagai irama alfa. Pada umumnya kini yang dimaksud dengan iarama alfa adalah irama dengan frekuensi antara 8-13 spd, yang paling jelas terlihat di daerah parieto-oksipital, dengan voltase 10-150 mikrovolt, berbentuk sinusoid, relative sinkron dan simetris antara kedua hemisfer. Suatu asimetri ringan dalam voltase adalah normal, mengingat adanya dominasi hemisfer. Pada umumnya suatu perbedaan voltase 2 : 3 adalah dalam batas-batas normal, asalkan voltase yang lebih tinggi terlihat pada hemisfer non dominant. Yang lebih penting maknanya adalah bila terdapat perbedaan frekwensi antara kedua hemisfer. Suatu perbedaan frekwensi yang konsisten dari 1 spd atau lebih antara kedua hemisfer mungkin sekali diakibatkan suatu proses patologis di sisi dengan frekwensi yang lebih rendah.Irama alfa terlihat pada rekaman individu dalam keadaan sadar dan istirahat serta mata tertutup. Pada keadaan mata terbuka irama alfa akan menghilang, irama yang terlihat adalah irama lamda yang paling jelas terlihat bila individu secara aktif memusatkan pandangannya pada suatu yang menarik perhatiannya.Ditinjau dari irama alfanya dapat dibedakan tiga golongan manusia, sekelompok kecil yang memperlihatkan sedikit sekali atau tidak mempunyai irama alfa, sekelompok kecil lagi yang tetap memperlihatkan irama alfa walaupun kedua mata dibuka, dan diantara kedua ekstrem ini terletak sebagian besar manusia yang menunjukkan penghilangan irama alfa ketika membuka mata. Berturut-berturut ketiga kelompok ini disebut sebagai kelompok alfa M (minimal atau minus), alfa P (persisten), alfa R (responsive).Suatu irama yang lebih cepat dari irama alfa ialah irama beta yang mempunyai frekuensi di atas 14 spd, dapat ditemukan pada hamper semua orang dewasa normal. Biasanya amplitudonya daopat mencapai 25 mikrovolt, tetapi pada keadaan tertentu bisa lebih tinggi. Pada keadaan normal terlihat terutama di daerah frontal atau presentral.Irama yang lebih lambat dari irama alfa adalah tidak jarang pula ditemukan pada orang dewasa normal. Irama teta mempunyai frekuensi antara 4-7 spd. Suatu irama yang lebih pelan dari teta disebut irama delta adalah selalu abnormal bila didapatkan pada rekaman bangun, tetapi merupakan komponen yang normal pada rekaman tidur. Frekuensi irama delta ialah ½ - 3 spd.Berbagai keadaan dapat mempengaruhi gambaran EEG. Perhatian cenderung untuk menghapuskan irama alfa, merendahkan voltase secara umum dan mempercepat frekuensi. Termasuk perhatian ini adalah usaha introspeksi dan kerja mental (misalnya berhitung). Demikian pula setiap stimulus visual, auditorik dan olfaktorik akan merendahkan amplitudo dan menimbulkan ketidak teraturan irama alfa. Penurunan kadar O2 dan atau CO2 darah cenderung menimbulkan perlambatan, sebaliknya peninggian kadar CO2 menimbulkan irama yang cepat. Faktor usia juga mempunyai pengaruh penting pula dalam EEG. Rekaman dewasa sebagaimana digambarkan di atas pada umumnya dicapai pada usia 20-40 tahun. Rekaman neonatus berusia di bawah satu bulan memperlihatkan amplitude yang rendah dengan irama delta atau teta. Antara usia 1-12 bulan terlihat peninggian voltase, walaupun irama masih tetap delta atau teta. Antara 1-5 tahun terlihat amplitudo yang tinggi, irama teta yang meningkat dan mulai terlihat irama alfa, sedangkan irama delta mengurang. Antara 6-10 tahun amplitude menjadi sedang, irama alfa menjadi lebih banyak, teta berkurang, delta berkurang sampai hilang. Antara 11-20 tahun voltase terlihat sedang sampai tinggi, dominsi alfa mulai jelas, teta minimal, delta kadang-kadang masih terlihat di daerah belakang. Di atas 40 tahun mulai lagi terlihat gelombang lambat 4-7 spd di daerah temporal dan di atas 60 tahun rekaman kembali melambat seperti rekaman anak-anak. Perubahan tahap-tahap tidur berpengaruh besar pula terhadap rekaman EEG. Dalam keadaan mengantuk terlihat pengurangan voltase dan timbul sedikit perlambatan. Pada keadaan tidur sangat ringan dapat terlihat adanya gelombang-gelombang mirip paku bervoltase tinggi, bifasik dengan frekuensi 3-8 spd, simetris dan terjelas di daerah parietal (parietal humps). Gambaran ini paling jelas pada usia 3-9 tahun dan terus terlihat sampai usia 40 tahun. Pada keadaan tidur ringan terdapat (sleep spndle) terdapat gelombang tajam berfrekuensi 12-14 spd yang sifatnya simetris. Pada keadaan tidur sedang sampai dalam rekaman didominir oleh gelombnag-gelombang lambat tak teratur dengan frekuensi ½ - 3 spd.Gambaran EEG AbnormalEEG sampai saat ini masih digolong-golongkan atas dasar hubungan frekuensi-voltase, dengan frekwensi sebagai parameter utama. Berbagai penyelidikan mengungkapkan bahwa tidak semua individu normal memperlihatkan EEG yang normal dan sebaliknya tidak semua abnormalitas dalam EEG berarti ada abnormalitas pada individu yang bersangkutan. EEG abnormal disebut spesifik bila gelombang yang timbul mempunyai gambaran yang khas dan berkorelasi tinggi dengan kelainan klinik tertentu, disebut nonspesifik (aspesifik) bila gelombangnya tidak khas dan dapat ditimbulkan oleh banyak kelainan-kelainan neurologik atau sistemik.Di bawah ini akan dijelaskan beberapa hasil pemeriksaan EEG yang penting dari kelainan-kelainan neurologik, yaitu :1. EEG pada penyakit konvulsifEEG paling banyak digunakan untuk mendiagnosa dan mengklasifikasikan epilepsy. Paroksismal merupakan pemunculan yang episodic dan mendadak suatu gelombang atau kelompok gelombang yang secara kwantitatif dan kwalitatif berbeda dengan gambaran irama dasarnya. Tipe aktivitas paroksismal yang timbul ketika serangan, sampai derajat tertentu mempunyai korelasi dengan tipe klinis. Petit mal dalam serangan ditandai oleh aktivitas spike and wave dengan frekuensi 3 spd, menyeluruh disemua saluran, bersifat sinkron dan simetris dengan voltase yang tinggi yang dapat mencapai 1000 mikrovolt. Grand mal dalam serangan sangat sulit direkam karena terganggu oleh gerakan-gerakan motorik individu; gambaran kejangnya adalah berupa aktivitas cepat yang menyeluruh bervoltase tinggi berbentuk polyspike dengan frekuensi 8-12 spd, diselingi gelombang-gelombang lambat dari 1,5-3 spd. Epilepsi psikomotor ditandai oleh aktivitas spike didaerah temporal depan.Kebanyakan rekaman penderita epilepsy merupakan rekaman di luar serangan (interictal), yang tidak jarang tidak memperlihatkan abnormalitas, walaupun klinis jelas merupakan suatu epilepsy. Karenanya usaha-usaha provokatif dipergunakan untuk merangsang timbulnya aktivitas EEG abnormal yang tak terlihat secara spontan. Keadaan tidur (alamiah maupun akibat induksi obat) mengaktifkan paroksismalitas yang umum maupun fokal. Dalam keadaan tidak tidur hanya kira-kira sepertiga individu dengan diagnosa klinik epilepsy memperlihatkan paroksismalitas spesifik, 15 % memperlihatkan EEG yang normal dan sisanya memperlihatkan perlambatan atau percepatan yang spesifik. Dalam keadaan tidur gambaran serangan dua kali lebih sering terlihat, terutama untuk epilepsy psikomotor. Hiperventilasi paling efektif dalam mengaktifkan gelombang-gelombang serangan petit mal; kadang-kadang hiperventilasi dapat mengaktifkan abnormalitas yang bersifat fokal atau menimbulkan gambaran kejang yang partial. Stimulasi fotik dapat menimbulkan paroksismalitas menyeluruh berupa kompleks spike and wave yang disebut “photoparoxysmal response”.Korelasi gambaran rekaman diluar serangan adalah tertinggi untuk petit-mal (90%), kemudian tipe psikomotor dan pada tipe grand-mal korelasinya adlah tidak begitu tinggi. Jadi jelaslah tidak adanya gambaran epileptiform dalam rekaman tunggal tidaklah menyingkirkan kemungkinan penyakit konvulsif.2. EEG pada tumor intracranialPentingnya pemeriksaan EEG pada tumor otak ditegaskan oleh Walter, yang menyebutkan irama lambat berfrekuensi kurang dari 4 spd (irama delta). Irama delta ini umumnya terlihat fokal, karenanya dapat dipakai untuk menetukan lokalisasi tumor. Jaringan otak sendiri tidak memberikan lepas muatan listrik, gelombang-gelombang lambat yang dicatat oleh EEG berasal dari neuron-neuron disekitar tumor atau ditempat lain yang fungsinya terganggu secara langsung atau tidak langsung. Tomor otak tidak memberikan gambaran yang spesifik, kiranya rekaman serial adalah lebih bernilai dari pada rekaman tunggal.Tomor infra tentorial memberikan gambaran EEG yang berbeda dengan tomor supra tentorial. Gambaran karakteristik tumor infra tentorial adalah berupa perlambatan sinusoidal yang ritmik berfrekuensi 2-3 spd atau 4-7 spd, dapat bersifat terus menerus ataupun paroksismal.Berbeda dengan tomor infra tentorial, tumor supra tentorial pada umumnya memberikan gambaran yang bersifat fokal teta maupun delta, sehingga penentuan lokalisasi lebih dimungkinkan. Kadang-kadang dapat pula ditemui gambar spike atau gelombang tajam yang fokal.Suatu ketentuan yang banyak dianut tentang tumor otak mengatakan bahwa suatu EEG yang normal menyingkirkan sebesar 97% tumor kortikal dan sebesar 90% tumor otak pada umumnya.3. EEG pada lesi desak ruang lainSecara EEG, abses otak memberikan gambaran yang sama dengan tumor : 90-95% memperlihatkan aktivitas teta atau delta yang menyeluruh dengan focus frekuensi terendah diatas daerah abses. Fokus perlambatan iniseringkali sangat rendah sampai 0,3 spd dan bervoltase sangat tinggi sampai 500 mikrovolt.Subdural hematom yang kronik 90% memperlihatkan EEG yang abnormal, sehingga penemuan EEG yang normal menyingkirkan kemungkinan hematom secara cukup kuat.4. EEG pada rudapaksa kepalaEEG berkorelasi dengan hebat dan luasnya rudapaksa kepala. Commotio cerebri EEG umunya normal. Memar otak akut meperlihatkan penurunan voltase yang diffuse, diikuti pembentukan aktivitas delta bervoltase rendah yang menyeluruh. Pada area kontusi aktivitas cepat ditekan dan seringkali ditemui asimetri dalam amplitude irama alfa. Setelah fase akut aktivitas delta relative akan terlokalisir di daerah kontusi. Setelah kira-kira 2 minggu terlihat peninggian frekuensi dan penurunan voltase dari fokus delta tersebut. Dapat dilihat pula fokus spike di daerah kontusi. Pada masa penyembuhan hiperventilasi akan menimbulkan perlambatan umum sampai 30 hari setelah trauma.5. EEG pada infeksi otakMeningitis akut memberikan abnormalitas perlambatan yang difus berupa irama delta, baik pada bentuk purulent maupun serosa. Biasanya kelainan EEG berkaitan erat dengan tingkat kesadaran individu. Uatu perlambatan fokal yang timbul pada rekaman ulangan individu dengan meningitis mungkin sekali menandakan pembentukan abses.Ensefalitis memberikan perlamabatn umum, biasanya dengan frekuensi yang lebih rendah dari meningitis. Dapat pula terlihat fokus perlambatan dan gelombang tajam.6. EEG pada kelainan metabolic dan elektrolitHipoglikemia (<50 Electroencephalogram (EEG) Diambil pada 11 Pebruari 2006 dari http://www.webmd.com/hw/epilepsy/aa22249.aspLouis, S (2006).EEG COURSE and GLOSSARY. Diambil pada 11 Pebruari 2006 dari http://www.brown.edu/Departments/Clinical_Neurosciences/louis/eegcrs.htmlSt. John's Mercy Health Care (2006).Tests & Procedures Electroencephalogram (EEG) Diambil pada 17 Pebruari 2006 dari http://www.stjohnsmercy.org/contact/default.asp

BRAIN COOLING—A HOT TOPIC IN STROKE

http://www.neurologyreviews.com/apr01/nr_apr01_brain.html
BRAIN COOLING—A HOT TOPIC IN STROKE
FORT LAUDERDALE, Fla—Lowering body temperature has long been thought to lessen the damaging effects of stroke. Indeed, animal stroke models have successfully shown dramatic neuroprotection with moderate degrees of cooling. With recent improvements in technology and methodology, researchers are beginning to test the clinical potential of hypothermic therapy in patients with stroke.“If you step back and look at all of the stroke literature, probably the most consistent and most effective means to reduce the bad effects of stroke has been through lowering temperature. And one of most consistent ways to worsen the effects of stroke in animal models is to elevate temperature,” said Marc Mayberg, MD, Professor and Chair, Department of Neurosurgery, Cleveland Clinic Foundation, Ohio.At the 26th International Stroke Conference, experts reviewed the preclinical studies and the ongoing hypothermia trials.CHILLING RATS PROVIDES DRAMATIC RESULTSIn experimental models of cerebral ischemia, cooling the brain temperature by just a few degrees is capable of conferring dramatic neuroprotection, said Myron D. Ginsberg, MD, Director of Cerebral Vascular Disease Research Center and Co-Director of Neurotrauma Research Center at the University of Miami School of Medicine, Florida. Initial rat studies found that decreasing temperatures to 30°C to 34°C during global forebrain ischemia can preserve brain regions vulnerable to stroke damage. There was a “virtually complete preservation of pyramidal cell layer” in the CA1 hippocampus as well as neuroprotection in the central and dorsolateral striatum, he said. Significant reduction of infarct volume after focal ischemia in rats has also been demonstrated with hypothermia treatment, he added. These results have been reproduced in more than a dozen laboratories in the past decade. “There is absolutely no question as to the robustness of this observation,” Dr. Ginsberg said.Post-ischemic hypothermia can provide some degree of chronic protection if the duration and degree of hypothermia are sufficient, commented Ashfaq Shuaib, MD, FRCPC, Director of Neurology at the University of Alberta Hospital, in Edmonton. For example, prolonged hypothermia for 48 hours at 32°C to 34°C was capable of providing neuroprotection when initiated 2.5 hours after onset of middle cerebral artery occlusion in rats. Moreover, the treated rats maintained their ability to retrieve food pellets in a staircase test that measures independent forelimb reaching ability, he pointed out.IS STROKE PATHOLOGY TEMPERATURE SENSITIVE?In addition to the therapeutic potential, manipulating brain temperature has been useful in the study of stroke pathology. Temperature variations can improve a wide spectrum of processes associated with neuronal injury, including reduction in glutamate release, free radical mechanisms, ischemic depolarization, and kinase activities; preservation of the blood-brain barrier and cytoskeleton; and suppression of inflammatory mechanisms, Dr. Ginsberg said.Elevated levels of glutamate in plasma and cerebrospinal fluid have been found in patients with stroke progression, Dr. Shuaib added. “If hypothermia attenuates this glutamate increase, it may offer protection for the patients,” he suggested. Microdialysis studies in animals have shown that hypothermia can completely suppress intra-ischemic glutamate release.Hydroxyl radical production is also suppressed when ischemia is carried out under hypothermic conditions, according to a recent study in rats. On the other hand, ischemia at higher temperatures produced a 12-fold increase in hydroxyl radical production during the recirculation period, Dr. Ginsberg said. “When one subjects the brain to a global ischemic insult of short duration, but under hyperthermic conditions (39°C), things happen that would never occur under normothermia,” he said.Neuroimaging studies of stroke models have demonstrated the influence of temperature on brain metabolism, Dr. Ginsberg said. Also, there is an increasing number of ischemic depolarizations with increasing temperature during stroke, which impose a severe energy burden on the penumbra. The blood-brain barrier is also “exquisitely sensitive to temperature,” he added. Under hypothermic conditions during ischemia, he noted, there is complete protection of the barrier.“It’s high time now for a controlled, randomized, prospective study of hypothermia in ischemic stroke,” Dr. Ginsberg remarked. The experimental studies suggest that cooling to 32°C to 34°C is sufficient to confer neuroprotection, particularly if it’s prolonged for 24 to 48 hours. “There’s no excuse now for failing to control the body temperature” in patients with stroke and acute brain injury, he said.TECHNIQUES OF BRAIN COOLINGBrain temperature can be lowered by cooling the body surface or by cooling the inner body. Although the target temperature and duration of cooling is still under debate, preliminary trials have suggested that hypothermic therapy may be feasible and safe, said Thorsten Steiner, MD, from the University of Heidelberg, Germany.Surface cooling can be achieved by wiping the patient’s body with alcohol and by using cooling blankets, cooling mattresses, or cooling tents. This method can take 3.5 to 6.5 hours to bring the core temperature down to 32°C and it is very labor intensive, he said. In order to counteract the shivering response, the patient has to be paralyzed, intubated, and sedated.Surface cooling has been tested in two trials with stroke patients. In the first trial, hypothermia was induced in 25 patients with severe ischemic stroke in the middle cerebral artery territory for therapy of post-ischemic brain edema. Hypothermia began within 14 hours after stroke onset, and patients were maintained at 33°C for 48 to 72 hours. “The overall result was encouraging because intracranial pressure could be lowered significantly and the mortality rate could be decreased to 44% compared to 70% to 80% of patients who were conservatively treated,” Dr. Steiner said. However, there was a high rate of pneumonia and septic syndrome. Rewarming was done in a passive mode, he noted, and all the patients had some elevation of intracranial pressure. Five patients died because of transtentorial herniation. In the second hypothermia trial, 15 stroke patients were rewarmed in a controlled manner. This leads to significantly better control of intracranial pressure, Dr. Steiner said. However, prolonged hypothermia led to an increase of infectious complications.Inner-core cooling can be achieved by cooling the blood returning to the heart, Dr. Steiner explained. This method has been applied to eight patients with traumatic brain injury. The cooling speed was 3.5°C per hour and controlled rewarming was relatively easy since it was possible to control the temperature in intervals of 0.1°C. However, these patients required mechanical ventilation and four patients died due to uncontrollable intracranial pressure.PREEMPTIVE FEVER REDUCTIONIn addition to cooling below normal temperatures, researchers are looking for ways to prevent fever after stroke. Fever can exacerbate stroke damage and it is an independent predictor of poor outcome, said Mary A. Kalafut, MD, from the Scripps Clinic in La Jolla, California.Conventional stroke treatment calls for antipyretics in response to elevated temperature; however, Dr. Kalafut and colleagues have taken the first look at preemptive fever reduction. Prophylactic acetaminophen (650 mg) was given “around the clock, every four hours” to 16 consecutive patients who presented with acute ischemic stroke within 24 hours of onset.During the three-day study period, the control group had significantly increased temperatures when compared to baseline admission temperatures, Dr. Kalafut said. The temperatures of the acetaminophen-treated patients, in contrast, did not increase over baseline at four of the six eight-hour time points tested. A randomized trial is needed to determine whether this effect will result in reduced brain injury and improved outcomes, he said.INTRAOPERATIVE HYPOTHERMIAResults from a pilot trial found that cooling patients during aneurysm surgery is feasible and well tolerated, said Christopher M. Loftus, MD, FACS, from the University of Oklahoma, Oklahoma City. A total of 114 patients undergoing cerebral aneurysm clipping were randomized to normothermic (36.5°C) or hypothermic (33.5°C) conditions. Hypothermia was achieved with cooling blankets. Patients who were cooled had a lower frequency of neurologic deterioration at 24 and 72 hours after surgery and a greater incidence of good long-term outcome than did the noncooled patients, Dr. Loftus said. Currently, a multicenter, randomized trial is under way to test whether intraoperative hypothermia can improve long-term neurologic outcome in 920 patients with subarachnoid hemorrhage.According to a three-year prospective trial with 27 patients, mild resuscitative hypothermia after cardiac arrest was found to be feasible and well tolerated, said Fritz Sterz, MD, from the University Clinic of Emergency Medicine, Vienna, Austria. Temperature was lowered to 32°C to 34°C for at least 24 hours after cardiac arrest. The surface cooling method used was not associated with any major complications, he said. Currently, Dr. Sterz and his colleagues are in the process of enrolling patients in a larger multicenter trial to assess long-term neurologic outcomes.HYPOTHERMIA IN ACUTE ISCHEMIC STROKE—THE COOL AID TRIALHypothermic therapy has the potential to limit ischemic damage, reduce reperfusion injury, and dampen the risk of hemorrhage occurring after thrombolytic therapy, said Derk W. Krieger, MD, PhD, from the Cleveland Clinic Foundation, Ohio. The feasibility and safety of moderate hypothermia in stroke was recently tested in the Cooling for Acute Ischemic Brain Damage (COOL AID) trial.This pilot study included patients with severe strokes affecting the middle cerebral artery territory who failed to improve after thrombolysis. Ten patients were cooled to 32°C using a cooling blanket and an ice water-alcohol bath. It took 3.6 hours to reach target temperature and there were difficulties in maintaining temperature (average duration, 22 hours), Dr. Krieger noted.According to modified Rankin Scale scores at three months, 50% of the patients treated with hypothermia had a good outcome compared to only about 11% of the control patients. The percentage of good outcome in historic controls is 20%, “so we had kind of a net benefit of 30%,” Dr. Krieger said. Accordingly, there was a trend towards a reduction in stroke size in the cooled patients, he added. Complications included bradycardia in five patients, ventricular arrhythmia in two patients, and fever after rewarming in three patients. “Most of the complications occurred very late in the cooling process or at temperatures below target,” he pointed out.The Cleveland Clinic Foundation researchers have recently begun enrolling patients in the COOL AID phase II multicenter trial to examine the safety and feasibility of the catheter cooling method. A catheter will be placed in the vena cava to cool the blood circulating to the heart. The temperature can be set and precisely maintained using a feedback mechanism. In addition, warming blankets placed on the chest can allow patients to feel warm even though their core temperature is decreasing. The researchers hope to achieve hypothermia and neuroprotection in patients without the use of sedation and ventilation.There is great anticipation of the results from these ongoing trials, Dr. Mayberg said. “If hypothermia is effective—and that’s a big if—and if the technology allows it to be applied safely outside the intensive care unit setting, then it may become part of the standard equipment for emergency medical technicians in the ambulance to begin cooling the patients en route to the hospital before their thrombolysis.”NR—Shauna KuboseSuggested Reading1. Ginsberg MD, Busto R. Combating hyperthermia in acute stroke: a significant clinical concern. Stroke. 1998;29:529-534.2. Hindman BJ, Todd MM, Gelb AW, et al. Mild hypothermia as a protective therapy during intracranial aneurysm surgery: a randomized prospective pilot trial. Neurosurgery. 1999; 44:23-32.3. Schwab S, Schwarz S, Spranger M, et al. Moderate hypothermia in the treatment of patients with severe middle cerebral artery infarction. Stroke. 1998;29:2461-2466.4. Zeiner A, Holzer M, Sterz F, et al. Mild resuscitative hypothermia to improve neurological outcome after cardiac arrest. A clinical feasibility trial. Hypothermia After Cardiac Arrest (HACA) Study Group. Stroke. 2000;31:86-94. WHAT CAUSES FEVER AFTER STROKE?Stroke patients are prone to infections, but damage to the hypothalamus—the temperature regulation center—may also play a role in the rise of body temperature after stroke, according to Michael A. DeGeorgia, MD, Head of the Neurological Intensive Care Program at the Cleveland Clinic Foundation, Ohio.According to imaging studies of 61 patients with intracerebral hemorrhage, noninfectious fever was mildly correlated with enlarged hemorrhage volume and